Friday, April 10, 2009

GOLPUTers dan Mahkota Ego

Bicara golput di negara maju seperti Amerika Serikat atau Perancis misalnya, tidak ada gregetnya. Sudah wajar bahwa di negara yang banyak imigrannya, yang penting bagi mereka adalah kerja dan cari duit. Siapa pun yang akan berkuasa tidak berpengaruh banyak bagi mereka. Hidup tidak akan menjadi buruk secara ekstrim. Di Indonesia sendiri sikap masa bodoh ini mirip dengan keadaan di atas, hanya saja dalam ekstrim yang sebaliknya. Di sini, yang golput berpendapat siapa pun yang berkuasa tidak berpengaruh, hidup tidak akan menjadi baik secara ekstrem. Tren ini mulai ada sejak tahun 90an, karena jenuh dengan penipuan rezim orde baru. Sempat menurun di era reformasi, sekarang kalangan golput kembali meningkat melihat kelakuan anggota dewan "yang terhormat" sama sekali tidak patut dihormati, ditambah sistem pemilihan caleg yang dinilai terlalu rumit dan belum waktunya diterapkan di sini.
 
Nah, sekarang apakah golput berarti ketidakpedulian terhadap masa depan negara? Secara singkat, jawaban gua adalah: Ya!
 
Minggu lalu daku sempat ngobrol santai dengan penasihat politik nomor satu, my Pap. Bicara golongan putih tidak akan ada habisnya, karena manusia itu banyak maunya, jadi wajar saja kalau ada yang keinginannya tidak terpenuhi. Nah, jika muncul satu keadaan dimana calon yang ada sudah sedemikian buruknya, maka akan terjadi persentase golput yang sangat besar dan menjadi mayoritas. Di saat itu, mungkin akan ada kekuatan massa yang mampu menumbangkan penguasa dan mereformasi pemerintahan. Di satu sisi gue setuju, di sisi lain gue yakin bahwa saat itu belum akan datang dalam waktu dekat. Masih jauh, karena era reformasi di sini pun masih 10 tahun yang lalu, pun belum ada rezim yang terlalu lalim yang mampu membangkitkan perlawanan rakyat seperti 10 tahun silam.
 
Golput buat gue sekarang lebih identik dengan ketidakpedulian akan negeri ini. Kemajuan atau kemunduran negeri ini sedikit banyak bergantung pada siapa yang akan duduk di DPR. Peranan mereka dalam mengajukan calon presiden, yang kemudian akan kita pilih dalam pemilu presiden, merupakan satu langkah. Langkah lainnya adalah dengan membuat berbagai kebijakan di setiap aspek pembangunan. Ekonomi, politik, pendidikan, sosial, kesehatan, semuanya bergantung kepada mereka dalam 5 tahun ke depan.
 
Latar belakang para golputers sebagian besar adalah kekecewaan. Mudah saja bagi mereka untuk menumpahkan kekecewaan kepada mereka-mereka di DPR atau presiden terpilih. Namun adalah logis untuk berkata bahwa dengan memilih untuk golput berarti juga tidak mempunyai hak untuk protes kepada anggota DPR atas keputusan mereka yang tidak sesuai aspirasi mereka. Kenapa? Karena mereka sendiri tidak menyalurkan aspirasi mereka saat pemilu, jadi anggota DPR pun tidak akan menanggapi aspirasi mereka nantinya (walaupun prakteknya, aspirasi kita-kita yang ikut pemilu pun tidak didengar, tapi ini kan bicara dunia yang ideal ;p). Artinya, menjadi golput berarti menjadi warganegara kelas dua yang fungsi dan peranannya sebagai alat kontrol dan koreksi pemerintahan sama sekali tidak ada alias impoten!
 
Untuk memilih mungkin sulit, karena jika caleg yang kita pilih berhasil terpilih, dan ternyata kinerjanya mengecewakan, kita mungkin akan menyesal. Sementara apabila ada caleg bukan pilihan kita yang terpilih dan menjalankan tugasnya dengan buruk, kita bisa menjalankan fungsi sebagai alat kontrol dan koreksi (sekali lagi, sayangnya di Indonesia, proses ini tidak dimungkinkan, kecuali anda punya basis massa yang besar, dan bisa nyiapin nasi bungkus dalam jumlah besar, hahaha...). Tapi jika tanggung jawab anda terhadap negeri ini cukup besar, rasanya bukan sesuatu yang terlalu besar untuk meminta anda berpartisipasi secara serius dalam pemilu di negara ini, apa pun bentuknya.
 
 
--next: Siapa sih sebenernya yang lu colek?

No comments: