Friday, April 10, 2009

My Chosen Ones...

Judul "I Choosed You" yang kemaren gue posting memang mengandung kesalahan dari segi grammar; secara implisit mengekspresikan perasaan gue yang takut salah memilih dalam pemilu legislatif kali ini. Ok, gue mengamini bahwa para penguasa dan pemerintahan di dunia ini dipilih TUHAN (Roma 13:1), artinya semuanya terjadi atas izin-Nya. Tapi bukan berarti bahwa setiap pemilih trus bebas dari tanggung jawabnya atas pilihannya masing-masing. Makanya mempertimbangkan pilihan dengan sebaik-baiknya adalah tindakan yang wajib sebelum menentukan pilihan.
 
Dan inilah hasil pilihan gue pada pemilu barusan:
 
1. DPR
Partai: 28 - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Caleg: 1 - Drs. Effendi M.S. Simbolon
Kenapa pilih dia?
Saat ini, partai ini yang paling gue percayai di antara partai-partai lainnya. Keputusannya dalam beberapa kali pemungutan suara di DPR terkait isu-isu krusial cukup menentramkan hati. Anggotanya pun relatif bersih dari korupsi dibanding partai-partai besar lain. Semoga dengan mendapat suara di atas 20% cukup untuk memajukan calon presiden sendiri dan mengoreksi kesalahan pada periode 2001-2004.
Soal caleg, ga bisa boong, popularitasnya di atas nama-nama yang lain. Pola pikirnya menurut gue cukup cerdas dan integritasnya teruji.
 
2. DPRD I
Partai: 25 - Partai Damai Sejahtera
Caleg: --
Kenapa pilih dia?
Gue pilih partai ini karena untuk tingkat daerah, gue cukup nyaman mewakilkan aspirasi gue kepada partai ini. PDIP mungkin juga bisa berperan sebagai benteng terakhir penentang penerapan syariat islam di DKI, tapi gue masih kecewa karena dukungan mereka ke Sutiyoso beberapa tahun lalu. Calegnya ga kenal semua sih, terserah deh siapa aja, gudlak yah dalam membubarkan Buddha Bar, gue dukung!!!
 
3. DPD
Caleg: 40 - Dr. Victor Silaen, MA
Kenapa pilih dia?
Peer pressure? Hahaha... Yah, integritas nomor satu! Sebagai politisi senior, sumbangan pemikirannya banyak, dan jelas tidak akan melacurkan jabatannya kelak. Pertimbangan kampanye juga penting. Tidak ada selembar poster mengenai dirinya yang gue liat di jalan-jalan. Mungkin ada beberapa stiker kecil, cukup untuk ditempel di kendaraan pribadi, tapi itu pun belum pernah gue liat (cuma pernah baca kalo ada yang nempelin stikernya di motor -> artinya ini stiker kecil banget, hehehe...). Rupanya ia menerapkan prinsip "tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal." (2 Kor 4:18)
Perjuangannya menjadi caleg pun gue ikuti, betapa ia dengan gigihnya mengumpulkan fotokopi KTP sebagai prasyarat maju menjadi caleg, dibantu tim suksesnya yang semuanya bekerja tanpa berharap imbalan. Satu mungkin yang sempat menjadi ganjalan kecil, yaitu gue inget betapa 5 tahun yang lalu ia mengunggulkan SBY sebagai presiden RI, dimana gue menyangsikan analisanya (maaf Bang, mungkin mau bertukar pikiran ama bokap gue? Teorinya radikal tapi sejauh ini banyak terbukti, dari jaman orde baru...)
 
Tentu gue berharap pilihan gue ini bisa membantu Indonesia ke arah pembangunan yang lebih baik dan suara gue ga terbuang sia-sia. Niat gue pun bukan untuk kampanye, makanya nama-nama ini baru gue rilis setelah pemilu selesai. Namun buat yang mungkin butuh sumbang saran sebelum pemilu berikutnya, gue dengan senang hati akan membantu, walaupun mungkin pada akhirnya malah gue yang akan belajar lebih banyak, karena ilmu gue pun masih sedikit.
 
 
Sampai bertemu di pemilu berikutnya...
(sebelumnya, simak reportase lengkap prosesi gue di TPS)

GOLPUTers dan Mahkota Ego

Bicara golput di negara maju seperti Amerika Serikat atau Perancis misalnya, tidak ada gregetnya. Sudah wajar bahwa di negara yang banyak imigrannya, yang penting bagi mereka adalah kerja dan cari duit. Siapa pun yang akan berkuasa tidak berpengaruh banyak bagi mereka. Hidup tidak akan menjadi buruk secara ekstrim. Di Indonesia sendiri sikap masa bodoh ini mirip dengan keadaan di atas, hanya saja dalam ekstrim yang sebaliknya. Di sini, yang golput berpendapat siapa pun yang berkuasa tidak berpengaruh, hidup tidak akan menjadi baik secara ekstrem. Tren ini mulai ada sejak tahun 90an, karena jenuh dengan penipuan rezim orde baru. Sempat menurun di era reformasi, sekarang kalangan golput kembali meningkat melihat kelakuan anggota dewan "yang terhormat" sama sekali tidak patut dihormati, ditambah sistem pemilihan caleg yang dinilai terlalu rumit dan belum waktunya diterapkan di sini.
 
Nah, sekarang apakah golput berarti ketidakpedulian terhadap masa depan negara? Secara singkat, jawaban gua adalah: Ya!
 
Minggu lalu daku sempat ngobrol santai dengan penasihat politik nomor satu, my Pap. Bicara golongan putih tidak akan ada habisnya, karena manusia itu banyak maunya, jadi wajar saja kalau ada yang keinginannya tidak terpenuhi. Nah, jika muncul satu keadaan dimana calon yang ada sudah sedemikian buruknya, maka akan terjadi persentase golput yang sangat besar dan menjadi mayoritas. Di saat itu, mungkin akan ada kekuatan massa yang mampu menumbangkan penguasa dan mereformasi pemerintahan. Di satu sisi gue setuju, di sisi lain gue yakin bahwa saat itu belum akan datang dalam waktu dekat. Masih jauh, karena era reformasi di sini pun masih 10 tahun yang lalu, pun belum ada rezim yang terlalu lalim yang mampu membangkitkan perlawanan rakyat seperti 10 tahun silam.
 
Golput buat gue sekarang lebih identik dengan ketidakpedulian akan negeri ini. Kemajuan atau kemunduran negeri ini sedikit banyak bergantung pada siapa yang akan duduk di DPR. Peranan mereka dalam mengajukan calon presiden, yang kemudian akan kita pilih dalam pemilu presiden, merupakan satu langkah. Langkah lainnya adalah dengan membuat berbagai kebijakan di setiap aspek pembangunan. Ekonomi, politik, pendidikan, sosial, kesehatan, semuanya bergantung kepada mereka dalam 5 tahun ke depan.
 
Latar belakang para golputers sebagian besar adalah kekecewaan. Mudah saja bagi mereka untuk menumpahkan kekecewaan kepada mereka-mereka di DPR atau presiden terpilih. Namun adalah logis untuk berkata bahwa dengan memilih untuk golput berarti juga tidak mempunyai hak untuk protes kepada anggota DPR atas keputusan mereka yang tidak sesuai aspirasi mereka. Kenapa? Karena mereka sendiri tidak menyalurkan aspirasi mereka saat pemilu, jadi anggota DPR pun tidak akan menanggapi aspirasi mereka nantinya (walaupun prakteknya, aspirasi kita-kita yang ikut pemilu pun tidak didengar, tapi ini kan bicara dunia yang ideal ;p). Artinya, menjadi golput berarti menjadi warganegara kelas dua yang fungsi dan peranannya sebagai alat kontrol dan koreksi pemerintahan sama sekali tidak ada alias impoten!
 
Untuk memilih mungkin sulit, karena jika caleg yang kita pilih berhasil terpilih, dan ternyata kinerjanya mengecewakan, kita mungkin akan menyesal. Sementara apabila ada caleg bukan pilihan kita yang terpilih dan menjalankan tugasnya dengan buruk, kita bisa menjalankan fungsi sebagai alat kontrol dan koreksi (sekali lagi, sayangnya di Indonesia, proses ini tidak dimungkinkan, kecuali anda punya basis massa yang besar, dan bisa nyiapin nasi bungkus dalam jumlah besar, hahaha...). Tapi jika tanggung jawab anda terhadap negeri ini cukup besar, rasanya bukan sesuatu yang terlalu besar untuk meminta anda berpartisipasi secara serius dalam pemilu di negara ini, apa pun bentuknya.
 
 
--next: Siapa sih sebenernya yang lu colek?

Pelangi di PEMILU 2009

Ga terasa udah 10 tahun berlalu dari pemilu pertama gue yang sangat konstitusional (dibanding masa-masa gue sekolah, yang tiap ikut pelajaran PMP pasti tereneg-eneg, partai itulagi-itulagi yang menang; dah gitu bangga pula menangnya, dasar ga punya harga diri!!!); juga sepuluh tahun sudah sejak partisipasi pertama gue sebagai panitia pemilu di RT setempat (bokap ikutan jadi anggota KIPP juga - Komisi Independen Pemantau Pemilu). Wow, artinya udah 10 tahun juga umur gue bertambah, sesuatu yang ga gue ridhoi sama sekali, hehehe...
 
Sementara itu ada beberapa catatan mengenai masa transisi ini. Tahun 1999 bisa dibilang sebagai masa transisi, dan partai PDI-P memegang kemudi terdepan sebagai partai reformasi, diikuti PAN dan PKB. Namun PG yang didukung dana warisan orde baru tampaknya masih menggeliat dan cukup punya sisa-sisa pendukung di level atas yang mampu mempengaruhi beberapa level di bawahnya. Karena rezim status-quo baru saja hancur lenyap, maka partai-partai berebut massa yang tercecer. Ambisi ketua PAN akhirnya membuyarkan PDI-P, partai pemenang pemilu saat itu, untuk menempatkan ketua umumnya sebagai presiden. Ironisnya, ia juga yang akhirnya bertindak sebaliknya -- benar-benar mengukuhkan definisi politik dimana tidak ada kawan atau musuh abadi, selama ada udang di balik batu. Kabinet Megawati pun dibentuk dengan banyak kompromi politik yang membuat kinerja tidak maksimal, karena semua berebut kekuasaan dan tidak ada yang mau menjadi oposisi.
 
Keadaan ini membuat pada pemilu berikutnya belum ada rezim status-quo yang terbentuk, dan semuanya mulai dari titik nol lagi, dengan PD muncul sebagai partai baru potensial. PG berhasil menyalip PDI-P, sayangnya koalisi mereka bubar oleh kekuatan baru yang mengandalkan tampang ganteng dan so-called kharisma (lagi-lagi dari mukanya), serta kemampuan melantunkan tembang "Pelangi Di Matamu". Kabinet SBY yang kemudian terbentuk ini kemudian tidak menyia-nyiakan waktunya untuk pelan-pelan mengukuhkan keberadaan rezimnya, dengan bantuan "orang nomor satu di Indonesia" (orang-orang yang mengaku pintar di Indonesia pasti tahu bahwa "orang nomor satu di Indonesia" tidak mengacu kepada presiden itu sendiri, tapi... silakan cari tahu sendiri!)
 
Upaya kabinet ini, yang walaupun merupakan koalisi namun bisa diklaim sebagai milik satu partai, secara efektif mampu memanfaatkan kelemahan mendasar rakyat negeri ini (liat posting sebelumnya), dan pada akhirnya mampu merebut simpati. Ini ditambah dengan dukungan kaum minoritas (juga sudah diulas di posting kemaren) dan kubu pro status-quo, kubu yang selalu main aman demi bisnis pribadi (ada sodara gue yang kayak gini, semoga cepat bertobat...)
 
Namanya juga pelangi, ga lengkap rasanya tanpa warna putih (eits, jangan protes dulu, secara teknis putih memang bukan warna, tapi pelangi tidak mungkin ada tanpa putih ;D) Nah, di sisi lain, ada golongan yang memang sudah apatis, menganggap siapa pun yang akan berkuasa nanti tidak akan mampu membuat perubahan, jadi lebih baik "mind my own business" dan GOLPUT!
 
 
(setelah menunda satu posting, gue janji abis ini pasti topiknya tentang GOLPUT! hehehe...)

I Choosed You!

Pemilu kali ini tetep heboh dari sisi kampanye, dan garing di hari-H-nya, suatu tren yang bakal terus bertambah di masa mendatang (tambah heboh kampanyenya, dan tambah garing hari-H-nya ;p ) Habis mo digimanain lagi, sistem yang superior sudah dipaksakan di negeri yang populasi melek demokrasinya masih seuprit (maafkan daku kalo daku menggolongkan diri sebagai yang seuprit ini; kadang kenyataan memang lebih pahit dari puyer sakit kepala, hahaha...); singkatnya, pemilu untuk memilih calon anggota legislatif dinilai kepagian! Jadi, seperti gue yang kalo masih ngantuk gara-gara bangun kepagian bisa nabrak tembok ato minum air panas langsung dari termos (ouch!), hal-hal bodoh menjadi sesuatu yang jamak dilakukan dalam kurang lebih setengah tahun belakangan. Jalan-jalan marak oleh atribut kampanye, yang mayoritas dilakukan tanpa tanggung jawab pada lingkungannya, menjadikan ibukota (dan juga kota-kota di seluruh Indonesia, tapi pengamatan daku terbatas di ibukota aja, sori..) layaknya ajang kreativitas anak taman kanak-kanak terbesar di dunia. Tujuannya hanya satu: terpilih sebagai anggota dewan "yang terhormat"; setelah itu tinggal duduk di ruang sidang sambil minum kopi dan baca koran, kadang tidur kalo ngantuk abis nonton bola subuh-subuh ato lagi bulan puasa, jalan-jalan studi banding ke luar negeri bawa anak-istri/suami, dan menggolkan beberapa tambahan tunjangan anggota dewan yang baru.
 
Sangat minimnya anggota DPR yang mempunyai kontribusi penting bagi kelangsungan kebijakan negara dan tegaknya pelaksanaan pembangunan menjadikan pemilih yang serius seperti gue gamang menatap detik-detik terakhir menjelang hari ini. Bukan apa-apa, selama hari-hari terakhir hidup gue hanya disibukkan dengan aktivitas ketawa-ketawa melihat kreativitas caleg yang absurd dan ga meaning sama skali deh auw... (ini juga mungkin diakibatkan gue lagi ga ada kerjaan, hehehe...) Sedangkan pikiran gue belon terisi satu kandidat caleg pun. Well, seiring dengan keterlibatan pasif gue di salah satu persekutuan terbesar di Indonesia (juga pasif di milisnya) membuat gue cukup mantap pada satu calon, walaupun dengan catatan (nanti gue jelasin di bawah). Jangankan caleg, partainya pun masih ragu. Beberapa partai besar sibuk berebut massa, partai baru yang didukung dana besar (karena dapat warisan gede dari rezim lama) juga jor-joran beriklan di media.
 
Sekilas dari perang antar partai ini, semuanya bisa dibilang bertindak konyol dan sangat ngendonesia... Kok gitu? Mereka bener-bener memanfaatkan kultur Indonesia yang masih kurang terdidik, guyub dan mementingkan kekerabatan di atas objektivitas (seringkali perbedaan dianggap tabu, seperti keterlibatan gue terakhir di sebuah organisasi massa non-formal), silau dengan prestasi instan, serta kurang memperhatikan akibat jangka panjang dari keputusan mereka.
 
1. Ada partai yang mengagungkan prestasi "memajukan perekonomian" negara di bidang ekonomi, yang di sisi lain didukung perwakilan kaum minoritas dalam sebuah acara tahun baru Cina (jangan lupa, perwakilan kaum minoritas ini juga yang telah menjerumuskan kaumnya sendiri dalam jurang kenistaan di orde baru, yang dikorbankan terus-menerus oleh rezim penguasa, sementara mereka - perwakilan itu - terus menangguk untung dari dukungan mereka terhadap penguasa).
2. Ada partai yang mengklaim keberhasilannya dalam pembangunannya selama ini karena merupakan partai paling senior. Paling senior di satu sisi berarti ikut menyumbang kehancuran bagi negeri, yang dalam 10 tahun terakhir ini masih belum bisa bangkit. Paling senior karena di masa lalu, kekuasaan didapatnya dengan "memaksa" 100% pegawai negeri untuk memilih partai mereka. Paling senior tapi kehadirannya dulu hanya boneka penguasa haus tahta.
3. Partai yang 2 periode lalu sempat berjaya, yang agenda utamanya kali ini adalah menyerang secara frontal kebijakan pemerintah terkini. Sebagai oposisi, hal ini memang wajar dilakukan, namun menjadi terkesan kurang elegan dan seakan kekurangan bahan kampanye. Selain itu, kekurangan yang dihadapi selama mereka dulu berkuasa menjadi lobang yang terus-menerus dicecar lawan politiknya.
4. Partai berbasis sektarian non-pluralis yang mencirikan sebagai partai bersih yang bebas korupsi. Klaim mereka "mungkin" benar (karena belum ada klaim sebaliknya, maka sementara ini dianggap benar), juga didukung oleh ketua umumnya yang intelek (sejauh ini, kadar intelejensianya mungkin cuma bisa disejajarkan dengan Amien Rais, yang partainya telah merosot popularitasnya). Sayangnya di saat-saat terakhir berkampanye, ia seakan tidak bertanggung jawab dalam insiden perusakan rumput lapangan stadion Bung Karno (memang partai lain, termasuk dari no 1-3 ikut andil merusak juga, namun semua, kecuali partai ini, turut menyesal dan memberi kompensasi), bahkan menyamakan dirinya sebagai tukang rumput.
5. Dua partai baru mencuat sebagai partai potensial pengganggu kemapanan posisi 5 besar pemenang pemilu, kebetulan dua-duanya dikomandoi oleh jenderal besar orde baru, yang kebetulan saling bermusuhan. Salah satunya menggandeng figur-figur yang populer di masyarakat (seperti yang dilakukan partai no.1 5 tahun yang lalu) dan menggarap iklan berisi pesan edukasi yang mantap. Sayangnya, seperti dibahas di atas, rakyat negeriku tercinta masih belum siap menerimanya, entah sampai kapan...
 
 
Trus sekarang sampai ke pertanyaan besarnya: "Kenapa sih pusing-pusing menganalisa segitu kerasnya? Emang penting gitu ikut pemilu? GOLPUT aja lah kalo bingung! Lagian golput kan lagi ngetren sekarang, gayanya anak muda gethoo loch..." (karena pertanyaan besar, gue gedein juga donk hurupnya, hehehe...)
 
--JAWABAN BESAR-nya ada di posting berikutnya, sekarang istirahat dulu gue, memikirkan pilihan tadi siang cukup buat kepala gue pusing berputar-putar... (belum lagi ditambah lonceng greja tadi sore, akibat posisi duduk terlalu deket ke menara ;(( )